Rasanya baru kemarin kupetik dawai-dawai kasmaran padamu, kulantunkan kidung asmara pada dunia, atas cinta dan kejujuran bisikan hati. Kupetik nada demi nada, kubisikan sebait kata-kata indah di telingamu, kuhembuskan angan-angan dan impian masa depan, kubawa kau ke alam imajinasi tiada akhir tentang kehidupan antara engkau dan aku. Tak ada nada sumbang kala itu, nada yang kupetik begitu harmonis seiring tarianmu yang gemulai mengikuti ritme alunan petikan dawai asmara.
Bersama kita tertawa, bersama pula kita menangis, bersama kita telusuri jalan berdebu, berliku penuh kerikil, kita berjalan, dan berlari. Kau genggam tangan ini erat, seakan tak ingin kau lepas, kupandang wajahmu yang sayu, sorot matamu pancarkan keindahan, kelembutan bagai seorang dewi kahyangan, lalu kubisikan “lelahkah dirimu?”…..dia hanya tersenyum dan berkata “apalah artinya lelah?, apalah artinya dahaga? Apalah artinya hidup ini? Jika tak lagi bisa disampingmu…..” lalu ku terdiam, beku dan kelu dalam balutan asmara.
Hari ini, kembali kupetik dawai-dawai yang sama namun dengan nada yang berbeda, kulantunkan sebuah lagu hanya untukmu, sebuah lagu kesedihan, sebuah lagu terakhir pelepas rindu. Adakah kau dengar bisikan kerinduan, adakah kau lihat petikan dawai asmara yang kini kupetik. Nada-nada indah ini tak seindah ketika kau iringi dengan tarianmu. Kembali kupetik dawai terakhir, menggema menyisakan duka dan terbawa angin utara, hening ….serangga tak lagi berbisik, hanya suara daun yang gugur terserak berisik melantunkan ratapan kepedihan.
Masih disini, kupetik dawai ini untuk terakhir kalinya, nada kerinduan yang tak kunjung bertepi, meratap andai waktu bisa terulang kembali walau hanya sedetik. Lalu kutatap dalam hening, sebaris nama tergores pada batu yang kusebut nisan.
Bandung 10 Februari 2011
Petikan Dawai Terakhir
Label:
POETRY
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments :
Posting Komentar