16.2.09

Kahlil Gibran (1883-1931)

Sampai saat ini, belum ada sastrawan Libanon yang namanya dapat disejajarkan dengan Kahlil Gibran. Dalam rentang usianya yang pendek, tak lebih dari 48 tahun, ia telah melahirkan karya yang kemudian jadi abadi. Jejak yang ia tinggalkan menembus waktu, generasi, ras, agama dan budaya. Namanya bahkan acap disandingkan sejajar dengan maestro lain, Blake, Dante, Tagore, Nietzsche, Micheleangelo, Rodin, dan Gothe.

Karya Gibran menjadi abadi dan melegenda bukan hanya karena keindahannya, melainkan karena mengandung ambisi yang dingin tentang kejujuran. Bahkan, "Keindahan ekspresi dan kedalaman misteri yang terkandung dalam syair maupun parabel Gibran telah memenuhi standar tulisan kitab suci," puji John Heynes Holmes, Menteri Urusan Gereja New York, dalam peluncuran buku Gibran, Jesus the Son of Man, 1928.

Nama Gibran bukan hanya mengharumkan Libanon, tapi juga semua kebudayaan, yang mengajarkan bagaimana menjadi manusia atas dasar cinta. Tak heran jika kemudian Gibran seakan menjadi kiblat bagi orang lain untuk ikut mengekspresikan diri. Dia seperti sang nabi, yang dipatuhi jutaan pengikut.

Kahlil Gibran lahir pada tanggal 6 Januari 1883 di Beshari, Libanon. Beshari merupakan daerah yang kerap disinggahi badai, gempa serta petir. Gibran kecil acap menatap badai, lidah petir, dan angin yang merontokkan gunung, dari kaca jendela rumahnya. Tak heran bila sejak kecil, mata Gibran sudah terbiasa menangkap fenomena-fenomena alam tersebut. Inilah yang pada masanya nanti banyak mempengaruhi tulisan-tulisannya tentang alam. Kejeniusannya dalam hal menulis sangat mumpuni dipengaruhi kenangan-kenangan masa lalu akan tanah kelahirannya. "Aku merasakan sukmaku bergemuruh, setiap tenaga alam itu tertangkap mataku," tulisnya.

Menginjak usia 10 tahun Gibran kecil bersama Ibunya dan kedua adik perempuannya pindah ke Boston, Amerika Serikat, pada masa ini Gibran mengalami kejutan budaya seperti dialami oleh banyak Imigran lain yang banyak berdatangan ke Amerika Serikat pada akhir abad ke-19. Masa-masa sekolah di kota ini diisi Gibran kecil dengan penuh keceriaan dan Akulturasi maka tak heran bila bahasa dan gayanya dibentuk oleh corak kehidupan Amerika. Namun walau begitu proses Amerikanisasi Gibran hanya berlangsung selama Tiga tahun saja karena setelah itu dia kembali ke Beirut, di mana dia belajar di Madrasah Al-Hikmat (School of Wisdom) sejak tahun 1898 sampai 1901.

Selama awal masa remaja, visinya tentang tanah kelahiran dan masa depannya mulai terbentuk. Tirani kerajaan Ottoman, sifat munafik organisasi gereja, dan peran kaum wanita Asia Barat yang sekadar sebagai pengabdi, mengilhami cara pandangnya yang kemudian dituangkan ke dalam karya-karyanya yang berbahasa Arab.

Pada saat Gibran berusia 19 tahun dia meninggalkan tanah airnya kembali menuju Boston. Namun ingatannya tak pernah lepas sedikitpun dari tanah airnya yaitu Libanon, ingatan Gibran selalu pulang ke Libanon. Dan ia merasa, Eksotisme Timur tak dapat ia temukan di perantauannya. Libanon adalah sumber inspirasi terbesar bagi dirinya, saat di Boston ini pula dia menulis tentang negrinya untuk melepaskan ekspresi dirinya. Hal inilah yang kemudian memberinya kebebasan untuk menggabungkan dua pengalaman budaya yang berbeda menjadi satu. Dari pinggiran rel kereta di Boston, dia mengasah bakat melukisnya. "Aku bisa hidup hanya dengan modal keyakinan," ucapnya. Dan terbukti. Dalam sebuah pameran di tahun 1896, Florence Pierce, seorang guru seni lukis, justru melihat ketajaman bakatnya. Tapi bukan hanya bakat melukis itu yang membetot perhatian orang, karya lirisnya, Al-Mawakib (The Procession) yang melukiskan keindahan pohonan Cedar di Libanon, bahkan membuat orang harus menahan napas. Bukan sesuatu yang aneh. Pegunungan Cedar yang dia gambarkan adalah "kuil tak kasat mata, tempat semesta kesunyian mendatangi diriku." Dan kerinduan pada alam Libanon.

Dunia Barat dan Timur yang dia selami menumbuhkan kesadaran rekonsiliasi antarkutub, yang diwakili Islam dan Kristen. Gibran yakin, apa yang terjadi bukanlah konflik agama, karena pada hal yang paling mendasar, ada kesamaan antara agama itu. Karena itu, meski dibesarkan sebagai Kristen Maronite, Gibran menyatakan keagungan Alquran, dan potensinya bagi inspirasi Spiritual, Sosial, dan Sastra.

Sedangkan terhadap Yesus, Gibran meyakininya sebagai tokoh supremasi semua zaman. " Seniku tak dapat menemukan tempat istirahat yang lebih baik daripada kepribadian Yesus.... Hidupnya adalah simbol perikemanusiaan. Ia akan selalu menjadi tokoh segala zaman, dan dalam dirinya, kita akan selalu menemukan Misteri, Gairah, Cinta, Imajinasi, Tragedi, Keindahan, Romansa, dan Kebenaran," kata Gibran dalam The Crucified.

Gibran menulis drama pertamanya di Paris dari tahun 1901 hingga 1902. Saat itu usianya menginjak 20 tahun. Karya pertamanya, Spirits Rebellious ditulis di Boston dan diterbitkan di New York, yang berisi empat cerita kontemporer sebagai sindiran keras yang meyerang orang-orang korup yang dilihatnya. Akibatnya, Gibran menerima hukuman berupa pengucilan dari gereja Maronite. Akan tetapi, sindiran-sindiran Gibran itu tiba-tiba dianggap sebagai harapan dan suara pembebasan bagi kaum tertindas di Asia Barat.

Masa-masa pembentukan diri Gibran selama di Paris tercerai-berai ketika Gibran menerima kabar dari Konsulat Jendral Turki, bahwa sebuah tragedi telah menghancurkan keluarganya. Adik perempuannya yang paling muda berumur 15 tahun, Sultana, meninggal karena TBC. Gibran-pun dengan segera kembali ke Boston. Kakaknya, Peter, seorang pelayan toko yang menjadi tumpuan hidup saudara-saudara dan ibunya juga meninggal karena TBC. Ibu yang memuja dan dipujanya, Kamilah, juga telah meninggal dunia karena tumor ganas. Hanya adiknya, Marianna, yang masih tersisa, dan ia dihantui trauma penyakit dan kemiskinan keluarganya. Kematian anggota keluarga yang sangat dicintainya itu terjadi antara bulan Maret dan Juni tahun 1903. Gibran dan adiknya Marianna lantas harus menyangga sebuah keluarga yang tidak lengkap ini dan berusaha keras untuk menjaga kelangsungan hidup mereka.

Di tahun-tahun awal kehidupan mereka berdua, Marianna membiayai penerbitan karya-karya Gibran dengan biaya yang diperoleh dari hasil menjahit di Miss Teahan's Gowns. Berkat kerja keras adiknya itu, Gibran dapat meneruskan karier keseniman dan kesasteraannya yang masih awal.

Pada tahun 1908 Gibran singgah di Paris lagi. Di sini dia hidup senang karena secara rutin menerima cukup uang dari Mary Haskell, seorang wanita kepala sekolah yang berusia 10 tahun lebih tua namun dikenal memiliki hubungan khusus dengannya sejak masih tinggal di Boston. Dari tahun 1909 sampai 1910, dia belajar di School of Beaux Arts dan Julian Academy. Sekembalinya ke Boston, Gibran mendirikan sebuah studio di West Cedar Street di bagian kota Beacon Hill. Ia juga mengambil alih pembiayaan keluarganya.

Pada tahun 1911 Gibran pindah ke kota New York. Di New York Gibran bekerja di apartemen studionya di 51 West Tenth Street, sebuah bangunan yang sengaja didirikan untuk tempat ia melukis dan menulis.

Sebelum tahun 1912 karyanya Broken Wings (Sayap-sayap patah) telah diterbitkan dalam Bahasa Arab. Buku ini bercerita tentang cinta Selma Karami kepada seorang muridnya. Namun, Selma terpaksa menjadi tunangan kemenakannya sendiri sebelum akhirnya menikah dengan suami yang merupakan seorang uskup yang oportunis. Karya Gibran ini sering dianggap sebagai otobiografinya.

Pengaruh Broken Wings terasa sangat besar di dunia Arab karena di sini untuk pertama kalinya wanita-wanita Arab yang dinomorduakan mempunyai kesempatan untuk berbicara bahwa mereka adalah istri yang memiliki hak untuk memprotes struktur kekuasaan yang diatur dalam perkawinan. Cetakan pertama Broken Wings ini dipersembahkan untuk Mary Haskell.

Gaya karya awal Gibran memang tak dapat dilepaskan dari corak Romantisme Arab. Tapi Gibran menyimpangkannya dengan memasukkan unsur pemberontakan pada tradisi yang ia rasa mengungkung kebebasan. Dari New York dia mengajak dan mengilhami versi baru Ramantisme Arab yang memperhalus jiwa manusia dengan spiritualisme. Gibran menunjukkan hal itu dengan pengungkapannya dalam pemikiran Sufistik melalui Iram Dhat al'Imad (Iram, Kota di atas Pilar). Namun ia juga mengkritik nilai sosial arab melalui beberapa karyanya, yang kemudian menuai kritik.

Sebelum tahun 1918, Gibran sudah siap meluncurkan karya pertamanya dalam bahasa Inggris, The Madman, His Parables and Poems. Persahabatan yang erat antara Mary Haskell tergambar dalam The Madman. Setelah The Madman, buku Gibran yang berbahasa Inggris adalah Twenty Drawing, 1919; The Forerunne, 1920; dan
The Prophet pada tahun 1923, karya-karya itu adalah suatu cara agar dirinya memahami dunia sebagai orang dewasa dan sebagai seorang siswa sekolah di Libanon, ditulis dalam bahasa Arab, namun tidak dipublikasikan dan kemudian dikembangkan lagi untuk ditulis ulang dalam bahasa Inggris pada tahun 1918-1922.

Sebelum terbitnya
The Prophet, hubungan dekat antara Mary dan Gibran mulai tidak jelas. Mary dilamar Florance Minis, seorang pengusaha kaya dari Georgia. Ia menawarkan pada Mary sebuah kehidupan mewah dan mendesaknya agar melepaskan tanggung jawab pendidikannya. Walau hubungan Mary dan Gibran pada mulanya diwarnai dengan berbagai pertimbangan dan diskusi mengenai kemungkinan pernikahan mereka, namun pada dasarnya prinsip-prinsip Mary selama ini banyak yang berbeda dengan Gibran. Ketidaksabaran mereka dalam membina hubungan dekat dan penolakan mereka terhadap ikatan perkawinan dengan jelas telah merasuk ke dalam hubungan tersebut. Akhirnya Mary menerima Florance Minis.

Pada tahun 1920 Gibran mendirikan sebuah asosiasi penulis Arab yang dinamakan Arrabithah Al Alamia. Tujuan ikatan ini merombak kesusastraan Arab yang stagnan. Seiring dengan naiknya reputasi Gibran, ia memiliki banyak pengagum. Salah satunya adalah Barbara Young. Ia mengenal Gibran setelah membaca
The Prophet. Barbara Young sendiri merupakan pemilik sebuah toko buku yang sebelumnya menjadi guru bahasa Inggris. Selama 8 tahun tinggal di New York, Barbara Young ikut aktif dalam kegiatan studio Gibran.

Gibran menyelesaikan Sand and Foam tahun 1926, dan Jesus the Son of Man pada tahun 1928. Ia juga membacakan naskah drama tulisannya, Lazarus pada tanggal 6 Januari 1929. Setelah itu Gibran menyelesaikan The Earth Gods pada tahun 1931. Karyanya yang lain The Wanderer, yang selama ini ada di tangan Mary, diterbitkan tanpa nama pada tahun 1932, setelah kematiannya. Juga tulisannya yang lain The Garden of the Propeth.

Pada tanggal 10 April 1931 jam 11.00 malam, Gibran meninggal dunia. Tubuhnya memang telah lama digerogoti sirosis hati dan TBC, tapi selama ini ia menolak untuk dirawat di rumah sakit. Pada pagi hari terakhir itu, dia dibawa ke St. Vincent's Hospital di Greenwich Village.

Hari berikutnya Marianna mengirim telegram ke Mary di Savannah untuk mengabarkan kematian penyair ini. Meskipun harus merawat suaminya yang saat itu juga menderita sakit, Mary tetap menyempatkan diri untuk melayat Gibran. Jenazah Gibran kemudian dikebumikan tanggal 21 Agustus di Ma Sarkis, sebuah biara Carmelite di mana Gibran pernah melakukan ibadah.

Gibran tak punya cerita tentang seks. Cinta, bagi dirinya yang rapuh karena diterkam sakit yang menahun, adalah kejujuran dan kepasrahan, sikap yang mencerminkan ketotalan "sang nabi" dari Libanon ini. Maka, ketika maut menjemputnya melalui sakit, Gibran tersenyum menyambutnya.


Dirangkum dari 10 Kisah Hidup Penulis Dunia & berbagai sumber




4 komentar:

  1. da kata-kata gibran yang bisa di contek ga..?? hihihi

    BalasHapus
  2. waduh. pasti nih buat cewe ya, ayo ngaku...
    hehehe.

    BalasHapus
  3. sepenggal Syair Cinta Kahlil Gibran

    Biarkan angin sepoi-sepoi segar berhembus menujumu mengirim gejolak dan cinta hatiku

    Mendekatlah padaku, kekasihku
    datanglah disampingku
    dan biarkan aku mengobati rasa rinduku padamu

    Aku datang ke tempat ini hanya untuk melihatmu
    karna dalam jiwaku yang lemah ini aku bs mndapatkan kekuatan baru
    dalam menghadapi hidup darimu

    Hal yg paling indah adalah bahwa kau dan aku slalu berjalan bersama
    bergandeng tangan dalam keindahan dunia ini
    tanpa diketahui orang lain.

    Kesetiaan tak akan memiliki makna apapun jika tidak dirangkai dalam cinta
    sebab cinta itu sendiri wujud kesetiaan yg paling sejati

    Kebanyakan seseorang hanya bisa meminjam hati orang lain
    hanya sedikit yang memilikinya
    jika engkau ingin memiliki, engkau tak boleh menuntut

    Realitas seseorang bukan apa yg tampak di hadapanmu
    tapi apa yg tak bisa ia perlihatkan padamu
    oleh karenanya jika kau ingin memahami
    dengarkan apa yg tak terucap olehnya
    bukan mendengarkan apa yang ia katakan

    Jika kau tak memahami dia atas segala kondisinya
    kau tak akan pernah bisa memahaminya

    moga berguna yaaaaaa...heheheheh

    BalasHapus
  4. Wah dia saya seneng sekali baca bukunya.. hebat nih orang...

    BalasHapus